Keputusan Pasamuhan Agung
III
Majelis Desa Pakraman (MDP)
Bali, Diselenggarakan
15 Oktober 2010, Bertempat
di Gedung Wiswasabha, Kantor Gubernur Prov. Bali
I. Program Unggulan
1.
Mempertahankan
jiwa pramana desa pakraman Bali,
berdasarkan agama Hindu.
2. Memperjuangkan diakuinya secara tegas desa
pakraman sebagai subjek hukum yang mempunyai hak atas tanah berdasarkan
undang-undang atau peraturan lainnya yang berlaku.
3. Mempertahankan hukum adat Bali, termasuk hukum keluarga, yang dilandasi ajaran agama Hindu,
dengan menyusun rumusan kesatuan tafsir tentang hukum adat Bali.
4.
Mengoptimalkan
peran dan fungsi desa pakraman beserta jajaran Majelis Desa Pakraman dalam
menyelesaikan kasus-kasus adat berdasarkan hukum adat Bali.
5.
Memperjuangkan
penyelesaian perkara adat yang telah diselesaikan oleh desa pakraman dan
jajaran MDP Bali supaya mendapat legitimasi lembaga peradilan negara.
6. Memperjuangkan dibebaskannya kekayaan desa pakraman dari kewajiban tertentu
terhadap negara dan organisasi lain di luar desa pakraman.
7.
Memperjuangkan adanya mata pelajaran hukum adat
Bali, pada jalur pendidikan formal pada jenjang SMP dan SMA di Bali.
II. Tata Hubungan Desa
Pakraman dengan Lembaga Lain
A. Tata Hubungan
Antara Desa Pakraman dengan Desa Dinas di Bali
Di
Bali ada dua desa, yaitu desa pakraman dan desa dinas. Desa pakraman melaksanakan tugas dan wewenang terkait dengan
pelaksanaan agama Hindu dan hukum adat Bali. Desa dinas melaksanakan tugas dan
wewenang terkait dengan administrasi pemerintahan dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Dilihat
dari keadaan penduduk dan wilayahnya, sering kali kedua desa tersebut di atas
tidak memiliki batas-batas tugas dan kewenangan yang jelas. Agar tercipta
hubungan baik antara desa pakraman dengan desa dinas dalam pelaksanaan tugas
dan kewenangan masing-masing, maka diperlukan tata hubungan yang jelas dan
tegas antara keduanya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pasamuhan
Agung III Majelis Desa Pakraman Bali memutuskan sebagai berikut.
- Bentuk hubungan antara desa dinas
dengan desa pakraman adalah konsultatif dan koordinatif.
- Berkaitan dengan kewenangan, maka
desa pakraman memiliki kewenangan, yakni setiap kegiatan yang memasuki
wilayah (wawengkon) palemahan desa pakraman harus
sepengetahuan dan atau persetujuan prajuru
dan atau paruman krama desa
pakraman, sesuai dengan bobot dan tingkat kegiatan.
B. Tata Hubungan
Desa Pakraman
dengan Tamiu atau Lembaga Lain
Letak geografis desa pakraman jaman
dahulu, pada umumnya terisolasi. Secara alamiah urusan (swadharma) yang harus dijalankan oleh desa pakraman pun menjadi
sederhana, lebih banyak berkaitan dengan aktivitas parhyangan, pawongan, dan palemahan
dalam lingkungan terbatas, yaitu hanya di desa pakraman sendiri.
Jaman sekarang, suasananya
berbeda. Kemajuan dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan pembangunan sesudah
kemerdekaan Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 dan dikeluarkanya
UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah menyebabkan situasi
dan kondisi desa pakraman berubah. Perubahan tampak pada letak geografis dan
urusan desa pakraman.
Letak
geografis yang tidak lagi terisolasi membawa konsekuensi semakin kompleksnya
urusan yang harus dihadapi desa pakraman. Urusannya tidak lagi terbatas sekitar
hukum adat Bali dan pelaksanaan agama Hindu dalam lingkungan desa pakraman
sendiri, melainkan mencakup juga
urusan penanaman modal (investor), urusan kependudukan, urusan
penelitian, pembinaan prajuru, urusan
politik menjelang pemilu legislatif, pemilu bupati, dan gubernur serta pemilu
presiden, sampai urusan syuting film, dan lain-lain.
Disadari atau tidak, desa
pakraman belum memiliki prosedur tetap (protap) dalam membangun hubungan atau
komunikasi dengan orang atau institusi lain di luar desa pakraman. Akibatnya,
ada peneliti, investor, politisi, pembuat film, LSM, lembaga pemerintah dan
swasta, dan sebagainya begitu saja nyelonong
ke desa pakraman, atas nama melakukan pembinaan, pendampingan, pemberdayaan,
pemberian bantuan, dan sejenisnya terhadap desa pakraman. Atau sebaliknya,
mereka mengundang prajuru desa
pakraman, untuk mengikuti pelatihan, penataran, dan aktivitas lainnya, atas nama pembinaan, pendampingan,
pemberdayaan, atau memberikan bantuan langsung berupa uang dan berbagai bentuk
sumbangan lain kepada desa pakraman tertentu.
Tanpa berprasangka buruk terhadap aktivitas yang
dilakukan, sepatutnya aktivitas semacam ini diketahui oleh MDP secara
berjenjang, sesuai aktivitas yang dilakukan. Hal ini berkaitan dengan salah
satu fungsi MDP sebagai filter dan fasilitator dalam membangun hubungan baik
antara desa pakraman dengan institusi lain di luar desa pakraman, sehingga
tercipta suasana Bali shanti (Bali
yang aman, damai, dan sejahtra). Oleh karena itu, MDP perlu merumuskan protap
untuk kegiatan semacam ini, yang dapat dijadikan pegangan oleh desa pakraman
dalam membangun relasi dengan orang atau institusi di luar desa pakraman.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pasamuhan
Agung III Majelis Desa Pakraman Bali memutuskan sebagai berikut.
1.
Pihak-pihak
di luar desa pakraman yang berkeinginan melakukan aktivitas tertentu yang
melibatkan desa pakraman, patut berkoordinasi dengan Majelis Desa Pakraman
(MDP) sesuai dengan jenjang kelembagaan Majelis Desa Pakraman (MDP).
2.
Desa
pakraman yang dilibatkan dalam aktivitas tertentu oleh pihak-pihak di luar desa
pakraman wajib memberitahukan secara lisan maupun tertulis kepada Majelis Desa
Pakraman (MDP) sesuai dengan jenjang kelembagaan Majelis Desa Pakraman (MDP),
dan selanjutnya segala konsekuensi yang muncul dari kegiatan yang dilaksanakan
atas kerjasama antara desa pakraman dengan pihak di luar desa pakraman tersebut
wajib dilaporkan secara tertulis kepada Majelis Desa Pakraman (MDP) sesuai
dengan jenjang kelembagaan Majelis Ddesa Pakraman (MDP).
3.
Aset,
sarana, dan atau simbol-simbol adat milik desa pakraman hanya dapat digunakan
untuk kepentingan adat Bali. Penggunaan oleh pihak-pihak di luar desa pakraman
mesti mendapatkan izin dan atau persetujuan dari desa pakraman bersangkutan.
C. Masalah Desa
Pakraman dan Desa Pakraman Bermasalah
Ada
masalah desa pakraman dan ada pula desa pakraman bermasalah. Masalah desa
pakraman merupakan masalah umum yang dihadapi hampir semua desa pakraman di
Bali. Desa pakraman bermasalah artinya sebuah desa pakraman yang sedang
menghadapi masalah, baik dengan warganya sendiri, dengan desa pakraman
tetangganya, maupun dengan institusi lain di luar desa pakraman.
Masalah
desa pakraman sebenarnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan desa pakraman
bermasalah. Beberapa masalah desa pakraman kini sedang dibahas dalam Pasamuhan
Agung III Tahun 2010 MDP Bali, seperti masa depan sanksi adat kasepekang, perceraian sesudah
berlakunya Undang-Undang Perkawinan, warisan bagi perempuan Bali, serta
keberadaan LPD.
Walaupun
jumlah desa pakraman bermasalah lebih sedikit dibandingkan masalah desa
pakraman, hal ini tidak dapat diabaikan karena terkait dengan realisasi bantuan
oleh Pememerintah Provinsi Bali dan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Bali.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas, maka Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali memutuskan sebagai
berikut.
Masalah Intern Desa Pakraman
Indikator Subjektif
- Suasana kehidupan di desa pakraman tidak kondusif.
- Desa pakraman tidak memiliki niat yang kuat untuk menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi.
Masalah Ekstern Desa Pakraman
Indikator Subjektif
- Menghambat program lintas desa pakraman.
- Desa pakraman yang terlibat tidak memiliki niat kuat untuk
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
Masalah Desa Pakraman Selesai
Indikator Subjektif
Suasana desa pakraman yang semula
terlibat masalah kini tampak sudah kondusif.
Tata Cara
Menghadapi Permasalahan Adat
1.
Desa pakraman dapat
membentuk kerta desa dan sabha desa yang keanggotaannya diatur
berdasarkan awig-awig.
2.
Bandesa pakraman atau
sebutan lain yang memiliki arti dan makna sama dengan itu sekaligus adalah
ketua kerta desa dan sabha desa yang ada di desa pakraman.
3.
Kerta desa bertugas membantu prajuru desa pakraman dalam menyelesaikan perkara adat, sedangkan sabha desa bertugas membantu prajuru desa pakraman dalam hal
merencanakan dan menyelesaikan permasalahan di luar perkara adat.
D. Penguatan Kedudukan Lembaga Perkreditan Desa Pakraman
(LPD) di Bali
Setiap desa pakraman
di Bali memiliki sejumlah aset (duwe)
desa, baik berupa barang tidak bergerak (tanah dan bangunan), barang bergerak,
maupun organisasi keuangan. Dua organisasi keuangan tradisional desa pakraman
dikenal dengan sekaa patus (semacam organisasi arisan) dan sekaa pacingkreman (semacam koperasi simpan pinjam). Sumber pendapatan
tradisional itu kini dikelola sesuai dengan prinsip pengelolaan organisasi
keuangan modern, dan diberi nama
Lembaga Perkreditan Desa (LPD).
Peran positif LPD
dewasa ini selain menjadi sumber pendanaan utama pembiayaan bagi kelangsungan
adat dan budaya Bali di desa pakraman, juga berkontribusi dalam hal pembangunan
infrastruktur desa pakraman maupun peningkatan kualitas sumber daya manusia,
seperti pemberian beasiswa kepada anak berprestasi dan kurang mampu di desa
pakraman. Dengan demikian, LPD yang murni merupakan milik (duwe) desa pakraman tidak saja berkontribusi langsung terhadap
kelangsungan adat dan budaya Bali yang hidup di desa pakraman, tapi juga
berkontribusi bagi Bali dan Indonesia secara umum.
Dalam
rangka menguatkan sumber pendapatan desa pakraman, mulai tahun 1985, Pemerintah
Provinsi Daerah Tingkat I Bali mengambil inisiatif untuk memberikan bantuan
dana kepada desa pakraman sebesar Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) untuk modal
tambahan dalam membangun Lembaga Perkreditan Desa (LPD), sebagai lembaga
keuangan yang secara resmi mengelola keuangan desa pakraman.
Untuk
lebih menjamin kelangsungan bantuan yang diberikan, Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Bali mengeluarkan
landasan yuridis berupa SK Gubernur Bali Nomor 974 Tahun 1984; Perda Provinsi Dati I Bali No 2 Tahun
1988 tentang Lembaga Perkreditan Desa (LPD), yang kemudian diubah dengan Perda
Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang LPD, dan diperbarui lagi dengan Perda
Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2007 tentang LPD.
Sebagai
salah satu aset desa pakraman, sepatutnya LPD diatur berdasarkan payung hukum
berupa awig-awig desa pakraman yang
sama di seluruh Bali, selain Perda Provinsi Bali. Tetapi dalam kenyataannya,
hampir tidak ada desa pakraman yang mencantumkan LPD dalam awig-awig-nya. Keberadaan LPD biasanya dituangkan dalam pararem desa pakraman dengan tata cara
pengelolaan yang belum seragam antara desa pakraman satu dengan desa pakraman
lainnya di Bali, terutama dalam hubungan dengan :
(a) hubungan LPD dengan prajuru desa, MDP Bali, Pemprov. Bali, BPD Bali,
dan lembaga
pembina LPD yang lainnya;
(b)
pengenaan bunga atas simpan pinjam di LPD;
(c) kewenangan LPD dalam menerima tabungan
dan memberikan pinjaman
terhadap warga
dan atau lembaga di luar desa pakraman bersangkutan;
(d)
sanksi yang dapat dikenakan desa pakraman terhadap penerima kredit yang
tidak memenuhi
kewajibannya (kredit macet).
Adanya
kenyataan seperti dikemukakan di atas mendorong keluarnya Keputusan Majelis
Utama Desa Pakraman (MDP) Bali Nomor: 050/Kep/Psm-1/MDP Bali/III/2006, Jumat 3
Maret 2006, tentang Hasil-hasil Pasamuhan Agung
I MDP Bali, yang merekomendasikan hal-hal sebagai berkut.
1. MDP Bali agar berkoordinasi dengan Gubernur Bali supaya diikutsertakan
dalam Tim Pembina LPD Provinsi Bali, sedangkan MDP Kabupaten/Kota se-Bali
berkoordinasi dengan bupati/walikota setempat agar diikutsertakan dalam Tim
Pembina LPD Kabupaten/Kota setempat.
2. MDP Bali agar mengadakan koordinasi dengan Pemerintah Provinsi Bali bersama
DPRD Bali supaya mengagendakan revisi Perda Bali nomor 8/Tahun 2002 tentang
Lembaga Perkreditan Desa (LPD) maupun perangkat hukum lain yang mengikutinya terkait dengan butir
1 di atas.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pasamuhan Agung III
Majelis Desa Pakraman Bali memutuskan sebagai berikut.
- Menegaskan kembali bahwa LPD merupakan satu di antara beberapa
kekayaan/duwe (milik) penuh desa pakraman.
- Menegaskan supaya keberadaan LPD sebagai duwe (milik) penuh
desa pakraman dicantumkan langsung dalam awig-awig desa pakraman,
sehingga seluruh krama desa pakraman bertanggung jawab atas
kelangsungan LPD di desa pakraman masing-masing.
- Menugaskan kepada MUDP Bali supaya mengadakan koordinasi dengan
Pemerintah Provinsi Bali dan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Bali untuk
mengagendakan revisi Perda Provinsi Bali tentang Desa Pakraman dan Perda
Provinsi Bali tentang LPD guna memperjelas kedudukan (linggih) LPD
sebagai duwe (milik) penuh desa pakraman dengan prinsip tata-kelola
(sasana) yang seragam bagi seluruh LPD di Bali.
Rekomendasi
• Terkait
dengan LPD, direkomendasikan supaya MUDP Bali berkoordinasi dengan Pemerintah
Provinsi Bali dan DPRD Bali agar revisi Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang
Desa Pakraman, Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang LPD, serta Peraturan
Daerah-Peraturan Daerah lain yang terkait, dan penyempurnaan awig-awig dimasukkan dalam Program
Legislasi Daerah (Prolegda) Bali.
• Nama Lembaga
Perkreditan Desa (LPD) agar dipikirkan untuk diganti dengan Labda Pacingkreman
Desa (LPD).
III.
Bidang Hukum Adat
A.
Kedudukan Wanita Bali dalam Keluarga dan Pewarisan
Sistem
kekeluargaan patrilineal (kapurusa)
yang dianut oleh orang Bali-Hindu
menyebabkan hanya keturunan berstatus kapurusa
yang dianggap dapat mengurus dan meneruskan swadharma
(tanggung jawab) keluarga, baik dalam hubungan dengan parahyangan (keyakinan Hindu),
pawongan (umat Hindu), maupun palemahan
(pelestarian lingkungan alam sesuai dengan keyakinan Hindu). Konsekuensinya,
hanya keturunan yang berstatus kapurusa
sajalah yang memiliki swadikara (hak)
terhadap harta warisan, sementara keturunan yang berstatus pradana (perempuan), tidak mungkin dapat meneruskan swadharma, sehingga disamakan dengan
orang yang meninggalkan tanggung jawab keluarga (ninggal kadaton), dan oleh karena itu, dianggap tidak berhak atas
harta warisan dalam keluarga.
Dalam perkembangannya, kenyataan dalam masyarakat
menunjukkan bahwa ada orang ninggal
kadaton tetapi dalam batas tertentu masih memungkinkan melaksanakan swadharma sebagai umat Hindu (ninggal kadaton terbatas), dan ada pula
kenyataan orang ninggal kadaton yang sama
sekali tidak memungkinkan lagi bagi mereka melaksanakan swadharma sebagai umat Hindu (ninggal
kadaton penuh). Mereka yang dikategorikan ninggal kadaton
penuh, tidak berhak sama sekali atas harta warisan, sedangkan mereka yang ninggal kadaton terbatas masih
dimungkinkan mendapatkan harta warisan didasarkan atas asas ategen asuwun (dua berbanding satu). Mereka
yang tergolong ninggal kadaton
terbatas adalah sebagai berikut.
a.
Perempuan
yang melangsungkan perkawinan biasa.
b.
Laki-laki
yang melangsungkan perkawinan nyentana/nyeburin.
c.
Telah
diangkat anak (kaperas
sentana) oleh keluarga lain sesuai dengan agama Hindu dan hukum adat Bali.
d.
Menyerahkan
diri (makidihang raga) kepada keluarga lain
atas kemauan sendiri.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka Pasamuhan Agung III Majelis Desa
Pakraman Bali memutuskan mengenai kedudukan suami istri dan anak terhadap harta
pusaka dan harta gunakaya sebagai berikut.
1.
Suami
dan istrinya serta saudara laki-laki suami dan istrinya, mempunyai kedudukan
yang sama dalam usaha untuk menjamin bahwa harta pusaka dapat diteruskan kepada
anak dan cucunya untuk memelihara atau melestarikan warisan immateriil.
2.
Selama
dalam perkawinan, suami dan istrinya mempunyai kedudukan yang sama terhadap
harta gunakaya-nya (harta yang diperoleh selama dalam
status perkawinan).
3.
Anak kandung (laki-laki atau perempuan) serta anak angkat (laki-laki atau
perempuan) yang belum kawin, pada dasarnya mempunyai kedudukan yang sama
terhadap harta gunakaya orangtuanya.
4.
Anak kandung (laki-laki atau perempuan) serta anak angkat (laki-laki atau
perempuan) berhak atas harta gunakaya orangtuanya, sesudah dikurangi
sepertiga sebagai duwe tengah (harta
bersama), yang dikuasai (bukan dimiliki) oleh anak yang nguwubang (melanjutkan swadharma
atau tanggung jawab) orangtuanya.
5.
Anak
yang berstatus kapurusa berhak atas
satu bagian dari harta warisan, sedangkan yang berstatus pradana/ninggal kadaton terbatas berhak atas sebagian atau setengah
dari harta warisan yang diterima oleh seorang anak yang berstatus kapurusa.
6.
Dalam hal pembagian warisan, anak yang masih dalam kandungan mempunyai hak
yang sama dengan anak yang sudah lahir, sepanjang dia dilahirkan hidup.
7.
Anak
yang ninggal kadaton penuh tidak
berhak atas harta warisan, tetapi
dapat diberikan bekal (jiwa dana)
oleh orangtuanya dari harta gunakaya
tanpa merugikan ahli waris.
B. Pelaksanaan Perkawinan dan Perceraian
Hukum adat Bali mengenal dua bentuk perkawinan, yaitu perkawinan biasa (wanita menjadi keluarga suami)
dan perkawinan nyentana/nyeburin (suami
berstatus pradana dan menjadi
keluarga istri). Dalam perkembangan selanjutnya, adakalanya pasangan calon
pengantin dan keluarganya tidak dapat memilih salah satu di antara bentuk
perkawinan tersebut, karena masing-masing merupakan anak tunggal, sehingga
muncul bentuk perkawinan baru yang disebut perkawinan pada gelahang. Hal ini menjadi persoalan tersendiri dalam masyarakat Bali sehingga perlu
segera disikapi.
Selain perkembangan mengenai bentuk perkawinan,
perkawinan beda wangsa yang secara
hukum tidak lagi dianggap sebagai larangan perkawinan sejak tahun 1951
berdasarkan Keputusan DPRD Bali Nomor 11/Tahun 1951 tanggal 12 Juli 1951,
ternyata masih menyisakan persoalan tersendiri dalam masyarakat, yakni masih
dilangsungkannya upacara patiwangi
dalam perkawinan yang lazim disebut nyerod. Hal ini perlu pula disikapi karena hal
itu bertentangan dengan hak asasi
manusia dan menimbulkan dampak ketidaksetaraan kedudukan wanita dalam keluarga,
baik selama perkawinan maupun sesudah perceraian.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila
dilaksanakan menurut hukum adat Bali (disaksikan prajuru banjar atau desa pakraman) dan agama Hindu. Sesuai Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan, perkawinan bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila
dilaksanakan menurut hukum adat Bali,
agama Hindu, sedangkan
perceraian baru dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan di pengadilan negeri
sesuai ketentuan Undang-Undang Perkawinan.
Apabila diperhatikan uraian di atas, tampak jelas bahwa Undang-Undang
Perkawinan tidak memberikan penghargaan yang seimbang kepada hukum adat Bali
dan agama Hindu, dalam hubungan dengan pelaksanaan perkawinan dan perceraian
bagi umat Hindu. Ketentuan hukum adat Bali dan ajaran Hindu mendapat tempat
yang sepantasnya dalam pelaksanaan perkawinan, tetapi tidak demikian halnya
dalam perceraian. Terbukti, perceraian dikatakan sah setelah ada putusan
pengadilan, tanpa menyebut peran hukum adat Bali (prajuru desa pakraman) dan ajaran agama Hindu. Akibatnya, ada
sementara warga yang telah cerai secara sah berdasarkan putusan pengadilan,
tetapi tidak diketahui oleh sebagian besar krama
desa (warga) dan tidak segera dapat diketahui oleh prajuru desa pakraman. Kenyataan ini membawa konsekuensi kurang
baik terhadap keberadaan hukum adat Bali dan menyulitkan prajuru desa dalam menentukan swadharma
atau tanggung jawab krama desa
bersangkutan.
Berdasarkan
fakta-fakta di atas maka Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali
memutuskan sebagai berikut.
1.
Upacara
patiwangi tidak dilaksanakan lagi
terkait dengan pelaksanaan upacara perkawinan.
2.
Bagi calon pengantin yang karena keadaannya tidak
memungkinkan melangsungkan perkawinan biasa atau nyeburin (nyentana),
dimungkinkan melangsungkan perkawinan pada gelahang atas dasar
kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan.
3.
Agar
proses perceraian sejalan dengan proses perkawinan, maka
perceraian patut dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut.
a.
Pasangan
suami istri yang akan
melangsungkan perceraian, harus menyampaikan kehendaknya itu kepada prajuru banjar atau desa pakraman. Prajuru wajib memberikan nasihat untuk
mencegah terjadinya perceraian.
b.
Apabila
terjadi perceraian maka terlebih dahulu harus
diselesaikan melalui proses adat, kemudian dilanjutkan dengan mengajukannya ke
pengadilan negeri untuk memperoleh keputusan.
c.
Menyampaikan
salinan (copy) putusan perceraian
atau akte perceraian kepada prajuru
banjar atau desa pakraman. Pada saat yang bersamaan, prajuru banjar atau desa pakraman menyarankan kepada warga yang
telah bercerai supaya melaksanakan upacara perceraian sesuai dengan agama
Hindu.
d.
Prajuru
mengumumkan (nyobyahang) dalam paruman banjar atau desa pakraman, bahwa
pasangan suami istri bersangkutan telah bercerai secara sah, menurut hukum
nasional dan hukum adat Bali, sekalian menjelaskan swadharma mantan pasangan suami istri tersebut di banjar atau desa
pakraman, setelah perceraian.
4.
Akibat hukum perceraian adalah sebagai berikut.
a.
Setelah
perceraian, pihak yang berstatus pradana
(istri dalam perkawinan biasa atau suami dalam perkawinan nyeburin) kembali ke rumah asalnya dengan status mulih daa atau mulih taruna, sehingga kembali
melaksanakan swadharma berikut swadikara-nya di lingkungan keluarga asal.
b.
Masing-masing pihak berhak atas pembagian harta gunakaya (harta bersama dalam perkawinan) dengan prinsip pedum pada (dibagi sama rata).
c.
Setelah
perceraian, anak yang dilahirkan dapat diasuh oleh ibunya, tanpa memutuskan
hubungan hukum dan hubungan pasidikaran
anak tersebut dengan keluarga purusa,
dan oleh karena itu anak tersebut mendapat jaminan hidup dari pihak purusa.
C. Krama Tamiu dan Tamiu yang Berdomisili dan Membuka
Usaha di Desa Pakraman
Keputusan
Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali Nomor: 050/Kep/Psm-1/MDP Bali/III/2006,
Jumat 3 Maret 2006, tentang Hasil-hasil
Pasamuhan Agung I MDP Bali, menentukan:
1.
Penduduk
Bali berdasarkan agama yang dianut dan tempatnya berdomisili, dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu: krama desa (penduduk beragama Hindu dan mipil
atau tercatat sebagai anggota di desa pakraman); krama tamiu (penduduk
yang beragama Hindu dan tidak mipil atau tidak tercatat sebagai anggota
di desa pakraman); dan tamiu (penduduk non-Hindu dan bukan anggota desa
pakraman).
2.
Masing-masing
golongan penduduk tersebut, berlaku swadharma (kewajiban) yang berbeda
terhadap desa pakraman. Perbedaan itu hendaknya memberikan kenyamanan kepada
ketiga golongan penduduk tersebut.
Krama tamiu dan tamiu berdasarkan aktivitasnya di desa
pakraman, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) krama tamiu dan tamiu
yang hanya berdomisili di desa pakraman; dan (b) krama tamiu dan tamiu yang
berdomisili dan atau membuka usaha di desa pakraman.
Berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas, maka Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman
Bali memutuskan sebagai berikut.
Krama Tamiu dan Tamiu yang Berdomilisi
di Desa Pakraman
1.
Setiap orang Hindu yang ada
di Bali, wajib mipil (tercatat)
sebagai krama desa di salah satu desa
pakraman di Bali.
2.
Sebagai bukti telah mipil sebagai krama desa, ditandai dengan Kartu Tanda Krama Desa (KTKD) atau
surat keterangan dari bandesa (pucuk
pimpinan desa pakraman) tempat yang bersangkutan mipil.
3.
Seseorang yang sudah mipil (tercatat) sebagai krama desa di desa pakraman tertentu,
tidak wajib lagi menjadi krama desa
di desa pakraman lain atau desa pakraman tempatnya berdomisili, tetapi yang
bersangkutan wajib dicatat sebagai krama
tamiu.
4.
Krama desa, krama
tamiu, dan tamiu mempunyai
kewajiban yang berbeda terhadap desa pakraman tempatnya berdomisili.
5.
Perbedaan kewajiban
tersebut dituangkan dalam awig-awig atau pararem desa
pakraman, dengan ketentuan sebagai berikut.
a.
Kewajiban Krama Tamiu
(1)
Krama tamiu wajib menciptakan kasukertan desa pakraman bersama-sama krama desa, baik menyangkut
parahyangan (keyakinan Hindu), pawongan
(aktivitas kemanusiaan), maupun palemahan
(kelestarian lingkungan alam).
(2)
Kewajiban tersebut
dituangkan dalam bentuk sikap saling menghormati disertai pawedalan (urunan) dan ayah-ayahan
(wajib kerja) yang dapat diganti dengan uang dan jumlah keduanya tidak lebih
daripada 10% (sepuluh per seratus) daripada kewajiban krama desa, serta
dapat memberikan dana punia
(sumbangan sukarela).
b.
Kewajiban Tamiu
(1)
Tamiu wajib menciptakan kasukertan
desa pakraman bersama-sama krama desa
dan krama tamiu, dan aktivitas
lainnya yang berhubungan dengan
kemanusiaan dan kelestarian lingkungan alam, sepanjang tidak terkait
langsung dengan parahyangan
(keyakinan beragama menurut ajaran Hindu).
(2)
Kewajiban tersebut
dituangkan dalam bentuk sikap saling menghormati disertai pawedalan (urunan) dan ayah-ayahan
(wajib kerja) yang dapat diganti dengan uang dan jumlah keduanya tidak lebih
daripada 30% (tiga puluh per
seratus) daripada kewajiban krama
desa, serta dapat memberikan dana punia (sumbangan sukarela).
Krama Tamiu dan Tamiu yang Berdomilisi dan atau Membuka Usaha
di Desa Pakraman
1.
Krama tamiu dan Tamiu yang berdomisili dan atau
membuka usaha di desa pakraman, selain dikenakan kewajiban berupa uang yang
jumlahnya tidak lebih daripada 30% (tiga puluh per serataus) dari kewajiban krama desa, juga wajib memberikan
kontribusi kepada desa pakraman, sesuai dengan kegiatan usaha yang
dilaksanakan, untuk kepentingan kemanusiaan dan kelestarian lingkungan alam,
sepanjang tidak berkaitan langsung dengan keyakinan menurut ajaran Hindu.
2.
Jenis dan besarnya
kontribusi yang wajib diberikan, dituangkan dalam bentuk kesepakatan tertulis
antara tamiu dengan desa pakraman,
untuk jangka waktu lima tahun dan sesudahnya dapat ditinjau dan atau
disesuaikan dengan situasi dan kondisi objektif kegiatan usaha yang
dilaksanakan.
3.
Selain kontribusi, tamiu bersangkutan juga dapat memberikan
dana punia (sumbangan sukarela)
kepada desa pakraman.
Hak Krama Tamiu
dan Tamiu
Krama tamiu dan tamiu yang berdomisili dan atau membuka
usaha di desa pakraman, berhak mendapatkan panyanggran
(bantuan) banjar atau desa pakraman, pada waktu yang bersangkutan menghadapi kapancabayan (musibah atau malapetaka).
D. Pengenaan Sanksi Adat Kasepekang dan Kanorayang
Kenyataan
menunjukkan bahwa setiap kali sanksi adat kasepekang
dijatuhkan selalu saja menuai kontroversi berkepanjangan. Penerapan sanksi
tersebut terbukti tidak menyelesaikan masalah, sebaliknya justru menimbulkan
masalah baru, terutama dalam hubungan dengan penguburan jenazah dan atau
penggunaan setra.
Atas
dasar kenyataan tersebut maka berdasarkan Hasil Pasamuhan Agung II MDP Bali
tahun 2007, yang dituangkan dalam Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman (MDP)
Bali Nomor: 01/Kep/Psm-2/MDP Bali/X/2007, Jumat 12 Oktober 2007, sepanjang mengenai sanksi adat kasepekang dan kanorayang,
ditentukan bahwa ”Penjatuhan sanksi adat kasepekang
dan kanorayang dilarang sementara,
sampai adanya rumusan yang memadai mengenai pengertian dan tata cara
menjatuhkan sanksi adat tersebut,
yang berlaku bagi semua desa pakraman di Bali.”
Menindaklanjuti Keputusan MUDP (2007) di atas, maka perlu ditegaskan
pengertian sanksi adat kasepekang dan
sanksi adat kanorayang. Yang dimaksud dengan kasepekang (atau istilah lain) dalam hal
ini adalah pemberhentian sementara sebagai anggota banjar dan desa pakraman,
sehingga yang terkena sanksi kasepekang
tidak berhak mendapatkan panyanggran
(pelayanan/bantuan) banjar dan desa pakraman
yang ditandai dengan tidak mendapatkan arah-arahan
(suaran kulkul). Adapun yang dimaksud
dengan kanorayang (atau istilah lain)
adalah diberhentikan permanen sebagai krama
banjar dan desa pakraman, sehingga segala hak yang sebelumnya didapatkan dari
banjar dan desa pakraman menjadi gugur.
Berdasarkan
hal-hal tersebut di atas, maka Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali
memutuskan hal-hal sebagai berkut.
1.
Sanksi kasepekang atau istilah lain yang
mengandung arti dan makna sama dengan pemberhentian sementara sebagai krama desa, dapat dikenakan berdasarkan paruman (rapat) banjar atau desa pakraman kepada krama desa yang terbukti secara
meyakinkan membangkang (ngatuwel)
terhadap awig-awig, pararem, dan kesepakatan banjar atau
desa pakraman, setelah usaha penyelesaian melalui prajuru (kertha desa)
yang dilakukan dianggap gagal, dan setelah beberapa sanksi lain yang juga
dikenakan berdasarknan paruman tidak
membuahkan hasil. Sanksi lain yang dimaksud, seperti: (a) peringatan lisan dan
tertulis oleh prajuru (pimpinan)
banjar atau desa pakraman; (b) arta danda
(denda materi) berdasarkan awig-awig
yang berlaku.
2. Selama dalam masa kasepekang,
yang besangkutan tidak berhak mendapatkan panyanggran
(pelayanan/bantuan) seluruh anggota banjar dan desa pakraman yang ditandai
dengan tidak mendapatkan suaran kulkul,
dalam segala aktivitas yang dilakukan di desa pakraman setempat, baik dalam
suasana suka (syukuran), kasucian (upacara agama), kalayusekaran (kematian), maupun kapancabayan (tertimpa musibah).
3. Sanksi adat kasepekang
berlaku untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) paruman banjar atau paruman
desa pakraman yang mengagendakan pembahasan perihal pengenaan sanksi kasepekang tersebut.
4. Apabila dalam masa 3 (tiga) paruman
tersebut pihak yang dikenakan sanksi kasepekang
tidak memenuhi segala kewajiban yang dibebankan, maka yang bersangkutan dapat diberhentikan
(kanorayang) sebagai krama desa, dan tidak berhak menggunakan
segala fasilitas milik desa pakraman, kecuali yang bersangkutan kembali menjadi
krama desa, setelah memenuhi segala
persyaratan sesuai dengan awig-awig
yang berlaku.
5. Melarang pengenaan atau penjatuhan sanksi adat kanorayang atau istilah lain yang
memiliki arti dan makna yang sama dengan pemberhentian penuh sebagai krama desa (warga desa), secara langsung
sebelum tahapan-tahapan sanksi lain yang bersifat pembinaan diterapkan.
6. Desa pakraman yang melaksanakan sanksi adat kanorayang secara langsung, dianggap
sebagai desa pakraman bermasalah.
Kewajiban Krama
Desa yang Kasepekang
Selama
dalam masa kasepekang, pihak yang
dikenakan sanksi adat kasepekang berkewajiban
mengadakan pendekatan kepada krama
banjar dan krama desa yang lainnya melalui prajuru
banjar dan atau prajuru desa pakraman
secara terus menerus guna mengupayakan penyelesaian permasalahan yang
dihadapi.
Kewajiban Prajuru
Desa Pakraman terkait Sanksi Kasepekang
Prajuru banjar dan atau prajuru desa
pakraman wajib membina krama desa
yang kasepekang agar bisa kembali
melaksanakan swadharma sebagai krama desa; dan selanjutnya prajuru banjar dan atau prajuru desa pakraman tidak berhak
merekomendasikan kepada penyelenggara pemerintahan untuk mengurangi hak-hak
administratif krama desa yang kasepekang sebagai warga negara.
Hak Krama Desa
yang Kasepekang
Selama dalam masa kasepekang, pihak yang dikenakan sanksi kasepekang masih berhak untuk hal-hal
sebagai berikut.
1.
Memanfaatkan setra (kuburan) banjar atau desa
pakraman untuk melaksanakan upacara penguburan/pembakaran jenazah atau pitra yadnya tanpa panyanggran banjar dan atau desa pakraman.
2.
Memanfaatkan tempat suci
dan fasilitas lain milik banjar atau desa pakraman, seperti halnya krama desa lainnya, dengan sepengetahuan
prajuru banjar dan atau desa
pakraman.
3.
Memanfaatkan tempat suci
untuk tujuan khusus, dilakukan atas seizin prajuru
banjar dan atau prajuru desa pakraman
dan dituntun oleh pamangku di tempat
suci bersangkutan.
Hak Krama Desa
yang Kasepekang
Selama dalam masa kasepekang, pihak yang dikenakan sanksi kasepekang masih berhak untuk hal-hal
sebagai berikut.
4.
Memanfaatkan setra (kuburan) banjar atau desa
pakraman untuk melaksanakan upacara penguburan/pembakaran jenazah atau pitra yadnya.
5.
Memanfaatkan tempat suci
dan fasilitas lain milik banjar atau desa pakraman, seperti halnya krama desa lainnya.
6.
Memanfaatkan tempat suci
untuk tujuan khusus, dilakukan atas sepengetahuan prajuru banjar dan atau prajuru
desa pakraman dan dituntun oleh pamangku
di tempat suci bersangkutan.
Sanksi Kasepekang Berakhir
Masa kasepekang dianggap
selesai sesudah pihak yang dikenakan sanksi memenuhi segala kewajiban yang
dibebankan kepadanya dan ngaksamaang raga
(meminta maaf) kepada krama banjar
dan atau krama desa pakraman melalui prajuru banjar atau prajuru desa pakraman.
Krama Desa yang Kanorayang
Krama desa kanorayang statusnya sama
dengan warga yang bukan krama desa,
sehingga tidak berhak menggunakan segala fasilitas banjar dan atau desa
pakraman tanpa seizin prajuru banjar
dan atau prajuru desa pakraman.
Krama desa yang kanorayang dapat
kembali menjadi krama desa setelah
mengikuti persyaratan untuk menjadi krama
desa baru (mawali tedun makrama) sesuai
dengan awig-awig desa pakraman bersangkutan.
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire