vendredi 24 octobre 2014

Keputusan Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali,

Keputusan Pasamuhan Agung III
Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali, Diselenggarakan
15 Oktober 2010, Bertempat di Gedung Wiswasabha, Kantor Gubernur Prov. Bali



I. Program Unggulan
1.     Mempertahankan jiwa pramana desa pakraman Bali, berdasarkan  agama Hindu.
2.     Memperjuangkan diakuinya secara tegas desa pakraman sebagai subjek hukum yang mempunyai hak atas tanah berdasarkan undang-undang atau peraturan lainnya yang berlaku.
3.     Mempertahankan hukum adat Bali, termasuk  hukum keluarga,  yang dilandasi ajaran agama Hindu, dengan menyusun rumusan kesatuan tafsir tentang hukum adat Bali.
4.     Mengoptimalkan peran dan fungsi desa pakraman beserta jajaran Majelis Desa Pakraman dalam menyelesaikan kasus-kasus adat berdasarkan hukum adat Bali.
5.     Memperjuangkan penyelesaian perkara adat yang telah diselesaikan oleh desa pakraman dan jajaran MDP Bali supaya mendapat legitimasi lembaga peradilan negara.
6.     Memperjuangkan dibebaskannya kekayaan desa pakraman dari kewajiban tertentu terhadap negara dan organisasi lain di luar desa pakraman.
7.     Memperjuangkan adanya mata pelajaran hukum adat Bali, pada jalur pendidikan formal pada jenjang SMP dan SMA di Bali.


II. Tata Hubungan Desa Pakraman dengan Lembaga Lain
A. Tata Hubungan Antara Desa Pakraman dengan Desa Dinas di Bali
Di Bali ada dua desa, yaitu desa pakraman dan desa dinas. Desa pakraman melaksanakan tugas dan wewenang terkait dengan pelaksanaan agama Hindu dan hukum adat Bali. Desa dinas melaksanakan tugas dan wewenang terkait dengan administrasi pemerintahan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dilihat dari keadaan penduduk dan wilayahnya, sering kali kedua desa tersebut di atas tidak memiliki batas-batas tugas dan kewenangan yang jelas. Agar tercipta hubungan baik antara desa pakraman dengan desa dinas dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan masing-masing, maka diperlukan tata hubungan yang jelas dan tegas antara keduanya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali memutuskan sebagai berikut.   
  1. Bentuk hubungan antara desa dinas dengan desa pakraman adalah konsultatif dan koordinatif. 
  2. Berkaitan dengan kewenangan, maka desa pakraman memiliki kewenangan, yakni setiap kegiatan yang memasuki wilayah (wawengkon) palemahan desa pakraman harus sepengetahuan dan atau persetujuan prajuru dan atau paruman krama desa pakraman, sesuai dengan bobot dan tingkat kegiatan.

B. Tata Hubungan Desa Pakraman
       dengan Tamiu atau Lembaga Lain
Letak geografis desa pakraman jaman dahulu, pada umumnya terisolasi. Secara alamiah urusan (swadharma) yang harus dijalankan oleh desa pakraman pun menjadi sederhana, lebih banyak berkaitan dengan aktivitas parhyangan, pawongan, dan palemahan dalam lingkungan terbatas, yaitu hanya di desa pakraman sendiri.
Jaman sekarang, suasananya berbeda. Kemajuan dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan pembangunan sesudah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 dan dikeluarkanya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah menyebabkan situasi dan kondisi desa pakraman berubah. Perubahan tampak pada letak geografis dan urusan desa pakraman.
Letak geografis yang tidak lagi terisolasi membawa konsekuensi semakin kompleksnya urusan yang harus dihadapi desa pakraman. Urusannya tidak lagi terbatas sekitar hukum adat Bali dan pelaksanaan agama Hindu dalam lingkungan desa pakraman sendiri, melainkan mencakup juga  urusan penanaman modal (investor), urusan kependudukan, urusan penelitian, pembinaan prajuru, urusan politik menjelang pemilu legislatif, pemilu bupati, dan gubernur serta pemilu presiden, sampai urusan syuting film, dan lain-lain.
Disadari atau tidak, desa pakraman belum memiliki prosedur tetap (protap) dalam membangun hubungan atau komunikasi dengan orang atau institusi lain di luar desa pakraman. Akibatnya, ada peneliti, investor, politisi, pembuat film, LSM, lembaga pemerintah dan swasta, dan sebagainya begitu saja nyelonong ke desa pakraman, atas nama melakukan pembinaan, pendampingan, pemberdayaan, pemberian bantuan, dan sejenisnya terhadap desa pakraman. Atau sebaliknya, mereka mengundang prajuru desa pakraman, untuk mengikuti pelatihan, penataran, dan aktivitas lainnya,  atas nama pembinaan, pendampingan, pemberdayaan, atau memberikan bantuan langsung berupa uang dan berbagai bentuk sumbangan lain kepada desa pakraman tertentu.
Tanpa berprasangka buruk terhadap aktivitas yang dilakukan, sepatutnya aktivitas semacam ini diketahui oleh MDP secara berjenjang, sesuai aktivitas yang dilakukan. Hal ini berkaitan dengan salah satu fungsi MDP sebagai filter dan fasilitator dalam membangun hubungan baik antara desa pakraman dengan institusi lain di luar desa pakraman, sehingga tercipta suasana Bali shanti (Bali yang aman, damai, dan sejahtra). Oleh karena itu, MDP perlu merumuskan protap untuk kegiatan semacam ini, yang dapat dijadikan pegangan oleh desa pakraman dalam membangun relasi dengan orang atau institusi di luar desa pakraman.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali memutuskan sebagai berikut.
1.     Pihak-pihak di luar desa pakraman yang berkeinginan melakukan aktivitas tertentu yang melibatkan desa pakraman, patut berkoordinasi dengan Majelis Desa Pakraman (MDP) sesuai dengan jenjang kelembagaan Majelis Desa Pakraman (MDP).
2.     Desa pakraman yang dilibatkan dalam aktivitas tertentu oleh pihak-pihak di luar desa pakraman wajib memberitahukan secara lisan maupun tertulis kepada Majelis Desa Pakraman (MDP) sesuai dengan jenjang kelembagaan Majelis Desa Pakraman (MDP), dan selanjutnya segala konsekuensi yang muncul dari kegiatan yang dilaksanakan atas kerjasama antara desa pakraman dengan pihak di luar desa pakraman tersebut wajib dilaporkan secara tertulis kepada Majelis Desa Pakraman (MDP) sesuai dengan jenjang kelembagaan Majelis Ddesa Pakraman (MDP).
3.     Aset, sarana, dan atau simbol-simbol adat milik desa pakraman hanya dapat digunakan untuk kepentingan adat Bali. Penggunaan oleh pihak-pihak di luar desa pakraman mesti mendapatkan izin dan atau persetujuan dari desa pakraman bersangkutan.
           
C. Masalah Desa Pakraman dan Desa Pakraman Bermasalah
Ada masalah desa pakraman dan ada pula desa pakraman bermasalah. Masalah desa pakraman merupakan masalah umum yang dihadapi hampir semua desa pakraman di Bali. Desa pakraman bermasalah artinya sebuah desa pakraman yang sedang menghadapi masalah, baik dengan warganya sendiri, dengan desa pakraman tetangganya, maupun dengan institusi lain di luar desa pakraman.
Masalah desa pakraman sebenarnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan desa pakraman bermasalah. Beberapa masalah desa pakraman kini sedang dibahas dalam Pasamuhan Agung III Tahun 2010 MDP Bali, seperti masa depan sanksi adat kasepekang, perceraian sesudah berlakunya Undang-Undang Perkawinan, warisan bagi perempuan Bali, serta keberadaan LPD.
Walaupun jumlah desa pakraman bermasalah lebih sedikit dibandingkan masalah desa pakraman, hal ini tidak dapat diabaikan karena terkait dengan realisasi bantuan oleh Pememerintah Provinsi Bali dan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Bali.
            Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali memutuskan sebagai berikut.

Masalah Intern Desa Pakraman
Indikator Subjektif
  1. Suasana kehidupan di desa pakraman tidak kondusif.
  2. Desa pakraman tidak memiliki niat yang kuat untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
Masalah Ekstern Desa Pakraman
Indikator Subjektif
  1. Menghambat program lintas desa pakraman.
  2. Desa pakraman yang terlibat  tidak memiliki niat kuat untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.


Masalah Desa Pakraman Selesai
Indikator Subjektif
Suasana desa pakraman yang semula terlibat masalah kini tampak sudah kondusif.
Tata Cara Menghadapi Permasalahan Adat
1.     Desa pakraman dapat membentuk kerta desa dan sabha desa yang keanggotaannya diatur berdasarkan awig-awig.
2.     Bandesa pakraman atau sebutan lain yang memiliki arti dan makna sama dengan itu sekaligus adalah ketua kerta desa dan sabha desa yang ada di desa pakraman.
3.     Kerta desa bertugas membantu prajuru desa pakraman dalam menyelesaikan perkara adat, sedangkan sabha desa bertugas membantu prajuru desa pakraman dalam hal merencanakan dan menyelesaikan permasalahan di luar perkara adat.


D. Penguatan Kedudukan Lembaga Perkreditan Desa Pakraman (LPD) di  Bali

Setiap desa pakraman di Bali memiliki sejumlah aset (duwe) desa, baik berupa barang tidak bergerak (tanah dan bangunan), barang bergerak, maupun organisasi keuangan. Dua organisasi keuangan tradisional desa pakraman dikenal dengan sekaa patus (semacam organisasi arisan) dan sekaa pacingkreman (semacam koperasi simpan pinjam). Sumber pendapatan tradisional itu kini dikelola sesuai dengan prinsip pengelolaan organisasi keuangan modern, dan diberi nama  Lembaga Perkreditan Desa (LPD).
Peran positif LPD dewasa ini selain menjadi sumber pendanaan utama pembiayaan bagi kelangsungan adat dan budaya Bali di desa pakraman, juga berkontribusi dalam hal pembangunan infrastruktur desa pakraman maupun peningkatan kualitas sumber daya manusia, seperti pemberian beasiswa kepada anak berprestasi dan kurang mampu di desa pakraman. Dengan demikian, LPD yang murni merupakan milik (duwe) desa pakraman tidak saja berkontribusi langsung terhadap kelangsungan adat dan budaya Bali yang hidup di desa pakraman, tapi juga berkontribusi bagi Bali dan Indonesia secara umum.
Dalam rangka menguatkan sumber pendapatan desa pakraman, mulai tahun 1985, Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Bali mengambil inisiatif untuk memberikan bantuan dana kepada desa pakraman sebesar Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) untuk modal tambahan dalam membangun Lembaga Perkreditan Desa (LPD), sebagai lembaga keuangan yang secara resmi mengelola keuangan desa pakraman.
Untuk lebih menjamin kelangsungan bantuan yang diberikan,  Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Bali mengeluarkan landasan yuridis berupa SK Gubernur Bali Nomor 974 Tahun 1984;  Perda Provinsi Dati I Bali No 2 Tahun 1988 tentang Lembaga Perkreditan Desa (LPD), yang kemudian diubah dengan Perda Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang LPD, dan diperbarui lagi dengan Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2007 tentang LPD.
Sebagai salah satu aset desa pakraman, sepatutnya LPD diatur berdasarkan payung hukum berupa awig-awig desa pakraman yang sama di seluruh Bali, selain Perda Provinsi Bali. Tetapi dalam kenyataannya, hampir tidak ada desa pakraman yang mencantumkan LPD dalam awig-awig-nya. Keberadaan LPD biasanya dituangkan dalam pararem desa pakraman dengan tata cara pengelolaan yang belum seragam antara desa pakraman satu dengan desa pakraman lainnya di Bali, terutama dalam hubungan dengan :
 (a) hubungan LPD dengan prajuru desa, MDP Bali,  Pemprov. Bali, BPD Bali,
      dan lembaga pembina LPD yang lainnya;
(b) pengenaan bunga atas simpan pinjam di LPD;
(c)  kewenangan LPD dalam menerima tabungan dan memberikan pinjaman
      terhadap warga dan atau lembaga di luar desa pakraman bersangkutan;
(d) sanksi yang dapat dikenakan desa pakraman terhadap penerima kredit yang
      tidak memenuhi kewajibannya (kredit macet).
Adanya kenyataan seperti dikemukakan di atas mendorong keluarnya Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali Nomor: 050/Kep/Psm-1/MDP Bali/III/2006, Jumat 3 Maret 2006, tentang Hasil-hasil Pasamuhan Agung I MDP Bali, yang merekomendasikan hal-hal sebagai berkut.
1.     MDP Bali agar berkoordinasi dengan Gubernur Bali supaya diikutsertakan dalam Tim Pembina LPD Provinsi Bali, sedangkan MDP Kabupaten/Kota se-Bali berkoordinasi dengan bupati/walikota setempat agar diikutsertakan dalam Tim Pembina LPD Kabupaten/Kota setempat. 
2.     MDP Bali agar mengadakan koordinasi dengan Pemerintah Provinsi Bali bersama DPRD Bali supaya mengagendakan revisi Perda Bali nomor 8/Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa (LPD) maupun perangkat hukum lain  yang mengikutinya terkait dengan butir 1 di atas.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali memutuskan sebagai berikut.
  1. Menegaskan kembali bahwa LPD merupakan satu di antara beberapa kekayaan/duwe (milik) penuh desa pakraman.
  2. Menegaskan supaya keberadaan LPD sebagai duwe (milik) penuh desa pakraman dicantumkan langsung dalam awig-awig desa pakraman, sehingga seluruh krama desa pakraman bertanggung jawab atas kelangsungan LPD di desa pakraman masing-masing.
  3. Menugaskan kepada MUDP Bali supaya mengadakan koordinasi dengan Pemerintah Provinsi Bali dan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Bali untuk mengagendakan revisi Perda Provinsi Bali tentang Desa Pakraman dan Perda Provinsi Bali tentang LPD guna memperjelas kedudukan (linggih) LPD sebagai duwe (milik) penuh desa pakraman dengan prinsip tata-kelola (sasana) yang seragam bagi seluruh LPD di Bali.
Rekomendasi
       Terkait dengan LPD, direkomendasikan supaya MUDP Bali berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi Bali dan DPRD Bali agar revisi Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Desa Pakraman, Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang LPD, serta Peraturan Daerah-Peraturan Daerah lain yang terkait, dan penyempurnaan awig-awig dimasukkan dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) Bali.
       Nama Lembaga Perkreditan Desa (LPD) agar dipikirkan untuk diganti dengan Labda Pacingkreman Desa (LPD).


III. Bidang Hukum Adat
           
A. Kedudukan Wanita Bali dalam Keluarga dan Pewarisan
Sistem kekeluargaan patrilineal (kapurusa) yang dianut oleh orang Bali-Hindu menyebabkan hanya keturunan berstatus kapurusa yang dianggap dapat mengurus dan meneruskan swadharma (tanggung jawab) keluarga, baik dalam hubungan dengan parahyangan (keyakinan Hindu), pawongan (umat Hindu), maupun palemahan (pelestarian lingkungan alam sesuai dengan keyakinan Hindu). Konsekuensinya, hanya keturunan yang berstatus kapurusa sajalah yang memiliki swadikara (hak) terhadap harta warisan, sementara keturunan yang berstatus pradana (perempuan), tidak mungkin dapat meneruskan swadharma, sehingga disamakan dengan orang yang meninggalkan tanggung jawab keluarga (ninggal kadaton), dan oleh karena itu, dianggap tidak berhak atas harta warisan dalam keluarga.
Dalam perkembangannya, kenyataan dalam masyarakat menunjukkan bahwa ada orang ninggal kadaton tetapi dalam batas tertentu masih memungkinkan melaksanakan swadharma sebagai umat Hindu (ninggal kadaton terbatas), dan ada pula kenyataan orang ninggal kadaton yang sama sekali tidak memungkinkan lagi bagi mereka melaksanakan swadharma sebagai umat Hindu (ninggal kadaton penuh). Mereka yang dikategorikan  ninggal kadaton penuh, tidak berhak sama sekali atas harta warisan, sedangkan mereka yang ninggal kadaton terbatas masih dimungkinkan mendapatkan harta warisan didasarkan atas asas ategen asuwun (dua berbanding satu). Mereka yang tergolong ninggal kadaton terbatas adalah sebagai berikut.
a.     Perempuan yang melangsungkan perkawinan biasa.
b.     Laki-laki yang melangsungkan perkawinan nyentana/nyeburin.
c.     Telah diangkat anak (kaperas sentana) oleh keluarga lain sesuai dengan agama Hindu dan hukum adat Bali.
d.     Menyerahkan diri (makidihang raga) kepada keluarga lain atas kemauan sendiri.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali memutuskan mengenai kedudukan suami istri dan anak terhadap harta pusaka dan harta gunakaya sebagai berikut.
1.        Suami dan istrinya serta saudara laki-laki suami dan istrinya, mempunyai kedudukan yang sama dalam usaha untuk menjamin bahwa harta pusaka dapat diteruskan kepada anak dan cucunya untuk memelihara atau melestarikan warisan immateriil.
2.        Selama dalam perkawinan, suami dan istrinya mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta gunakaya-nya  (harta yang diperoleh selama dalam status perkawinan).
3.        Anak kandung (laki-laki atau perempuan) serta anak angkat (laki-laki atau perempuan) yang belum kawin, pada dasarnya mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta gunakaya orangtuanya.
4.        Anak kandung (laki-laki atau perempuan) serta anak angkat (laki-laki atau perempuan) berhak atas harta gunakaya orangtuanya, sesudah dikurangi sepertiga sebagai duwe tengah (harta bersama), yang dikuasai (bukan dimiliki) oleh anak yang nguwubang (melanjutkan swadharma atau tanggung jawab) orangtuanya.
5.        Anak yang berstatus kapurusa berhak atas satu bagian dari harta warisan, sedangkan yang berstatus pradana/ninggal kadaton terbatas berhak atas sebagian atau setengah dari harta warisan yang diterima oleh seorang anak yang berstatus kapurusa.
6.        Dalam hal pembagian warisan, anak yang masih dalam kandungan mempunyai hak yang sama dengan anak yang sudah lahir, sepanjang dia dilahirkan hidup.
7.        Anak yang ninggal kadaton penuh tidak berhak atas harta warisan,  tetapi dapat diberikan bekal (jiwa dana) oleh orangtuanya dari harta gunakaya tanpa merugikan ahli waris. 

B. Pelaksanaan Perkawinan dan Perceraian
Hukum adat Bali mengenal dua bentuk perkawinan, yaitu perkawinan biasa (wanita menjadi keluarga suami) dan perkawinan nyentana/nyeburin (suami berstatus pradana dan menjadi keluarga istri).  Dalam perkembangan selanjutnya, adakalanya pasangan calon pengantin dan keluarganya tidak dapat memilih salah satu di antara bentuk perkawinan tersebut, karena masing-masing merupakan anak tunggal, sehingga muncul bentuk perkawinan baru yang disebut perkawinan pada gelahang. Hal ini menjadi persoalan tersendiri dalam masyarakat Bali sehingga perlu segera disikapi.
Selain perkembangan mengenai bentuk perkawinan, perkawinan beda wangsa yang secara hukum tidak lagi dianggap sebagai larangan perkawinan sejak tahun 1951 berdasarkan Keputusan DPRD Bali Nomor 11/Tahun 1951 tanggal 12 Juli 1951, ternyata masih menyisakan persoalan tersendiri dalam masyarakat, yakni masih dilangsungkannya upacara patiwangi dalam perkawinan yang lazim disebut nyerod.  Hal ini perlu pula disikapi karena hal itu  bertentangan dengan hak asasi manusia dan menimbulkan dampak ketidaksetaraan kedudukan wanita dalam keluarga, baik selama perkawinan maupun sesudah perceraian.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum adat Bali (disaksikan prajuru banjar atau desa pakraman) dan  agama Hindu. Sesuai Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, perkawinan bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum adat Bali,  agama Hindu,  sedangkan perceraian baru dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan di pengadilan negeri sesuai ketentuan Undang-Undang Perkawinan.
Apabila diperhatikan uraian di atas, tampak jelas bahwa Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan penghargaan yang seimbang kepada hukum adat Bali dan agama Hindu, dalam hubungan dengan pelaksanaan perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu. Ketentuan hukum adat Bali dan ajaran Hindu mendapat tempat yang sepantasnya dalam pelaksanaan perkawinan, tetapi tidak demikian halnya dalam perceraian. Terbukti, perceraian dikatakan sah setelah ada putusan pengadilan, tanpa menyebut peran hukum adat Bali (prajuru desa pakraman) dan ajaran agama Hindu. Akibatnya, ada sementara warga yang telah cerai secara sah berdasarkan putusan pengadilan, tetapi tidak diketahui oleh sebagian besar krama desa (warga) dan tidak segera dapat diketahui oleh prajuru desa pakraman. Kenyataan ini membawa konsekuensi kurang baik terhadap keberadaan hukum adat Bali dan menyulitkan prajuru desa dalam menentukan swadharma atau tanggung jawab krama desa bersangkutan.
Berdasarkan fakta-fakta di atas maka Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali memutuskan sebagai berikut.
1.     Upacara patiwangi tidak dilaksanakan lagi terkait dengan pelaksanaan upacara perkawinan.
2.     Bagi calon pengantin yang karena keadaannya tidak memungkinkan melangsungkan perkawinan biasa atau nyeburin (nyentana), dimungkinkan melangsungkan perkawinan pada gelahang atas dasar kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan.
3.     Agar proses perceraian sejalan dengan proses perkawinan, maka perceraian patut dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut.
a.     Pasangan suami istri  yang akan melangsungkan perceraian, harus menyampaikan kehendaknya itu kepada prajuru banjar atau desa pakraman. Prajuru wajib memberikan nasihat untuk mencegah terjadinya perceraian.
b.     Apabila terjadi perceraian maka terlebih dahulu harus diselesaikan melalui proses adat, kemudian dilanjutkan dengan mengajukannya ke pengadilan negeri untuk memperoleh keputusan.
c.     Menyampaikan salinan (copy) putusan perceraian atau akte perceraian kepada prajuru banjar atau desa pakraman. Pada saat yang bersamaan, prajuru banjar atau desa pakraman menyarankan kepada warga yang telah bercerai supaya melaksanakan upacara perceraian sesuai dengan agama Hindu.
d.     Prajuru mengumumkan (nyobyahang) dalam paruman banjar atau desa pakraman, bahwa pasangan suami istri bersangkutan telah bercerai secara sah, menurut hukum nasional dan hukum adat Bali, sekalian menjelaskan swadharma mantan pasangan suami istri tersebut di banjar atau desa pakraman, setelah perceraian.
4.     Akibat hukum perceraian adalah sebagai berikut.
a.     Setelah perceraian, pihak yang berstatus pradana (istri dalam perkawinan biasa atau suami dalam perkawinan nyeburin) kembali ke rumah asalnya dengan status mulih daa atau mulih taruna, sehingga kembali melaksanakan swadharma berikut swadikara-nya di lingkungan keluarga asal.
b.     Masing-masing pihak berhak atas pembagian harta gunakaya (harta bersama dalam perkawinan) dengan prinsip pedum pada (dibagi sama rata).
c.     Setelah perceraian, anak yang dilahirkan dapat diasuh oleh ibunya, tanpa memutuskan hubungan hukum dan hubungan pasidikaran anak tersebut dengan keluarga purusa, dan oleh karena itu anak tersebut mendapat jaminan hidup dari pihak purusa.

C. Krama Tamiu dan Tamiu yang Berdomisili dan Membuka Usaha di Desa Pakraman
Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali Nomor: 050/Kep/Psm-1/MDP Bali/III/2006, Jumat 3 Maret 2006, tentang Hasil-hasil Pasamuhan Agung I MDP Bali, menentukan:
1.     Penduduk Bali berdasarkan agama yang dianut dan tempatnya berdomisili, dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: krama desa (penduduk beragama Hindu dan mipil atau tercatat sebagai anggota di desa pakraman); krama tamiu (penduduk yang beragama Hindu dan tidak mipil atau tidak tercatat sebagai anggota di desa pakraman); dan tamiu (penduduk non-Hindu dan bukan anggota desa pakraman).
2.     Masing-masing golongan penduduk tersebut, berlaku swadharma (kewajiban) yang berbeda terhadap desa pakraman. Perbedaan itu hendaknya memberikan kenyamanan kepada ketiga golongan penduduk tersebut.

Krama tamiu dan tamiu berdasarkan aktivitasnya di desa pakraman, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) krama tamiu dan tamiu yang hanya berdomisili di desa pakraman; dan (b) krama tamiu dan tamiu yang berdomisili dan atau membuka usaha di desa pakraman.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali memutuskan sebagai berikut. 

Krama Tamiu dan Tamiu  yang Berdomilisi di Desa Pakraman

1.     Setiap orang Hindu yang ada di Bali, wajib mipil (tercatat) sebagai krama desa di salah satu desa pakraman di Bali.
2.     Sebagai bukti telah mipil sebagai krama desa, ditandai dengan Kartu Tanda Krama Desa (KTKD) atau surat keterangan dari bandesa (pucuk pimpinan desa pakraman) tempat yang bersangkutan mipil.
3.     Seseorang yang sudah mipil (tercatat) sebagai krama desa di desa pakraman tertentu, tidak wajib lagi menjadi krama desa di desa pakraman lain atau desa pakraman tempatnya berdomisili, tetapi yang bersangkutan wajib dicatat sebagai krama tamiu.
4.     Krama desa, krama tamiu, dan tamiu mempunyai kewajiban yang berbeda terhadap desa pakraman tempatnya berdomisili.
5.     Perbedaan kewajiban tersebut dituangkan dalam  awig-awig  atau pararem desa pakraman, dengan ketentuan sebagai berikut.

a.   Kewajiban Krama Tamiu
(1)    Krama tamiu wajib menciptakan kasukertan desa pakraman bersama-sama krama desa, baik menyangkut parahyangan (keyakinan Hindu), pawongan (aktivitas kemanusiaan), maupun palemahan (kelestarian lingkungan alam).
(2)    Kewajiban tersebut dituangkan dalam bentuk sikap saling menghormati disertai pawedalan (urunan) dan ayah-ayahan (wajib kerja) yang dapat diganti dengan uang dan jumlah keduanya tidak lebih daripada 10% (sepuluh per seratus) daripada kewajiban krama desa,  serta dapat memberikan dana punia (sumbangan sukarela).  

b.   Kewajiban Tamiu
(1)    Tamiu wajib menciptakan kasukertan desa pakraman bersama-sama krama desa dan krama tamiu, dan aktivitas lainnya yang berhubungan dengan  kemanusiaan dan kelestarian lingkungan alam, sepanjang tidak terkait langsung dengan parahyangan (keyakinan beragama menurut ajaran Hindu).
(2)    Kewajiban tersebut dituangkan dalam bentuk sikap saling menghormati disertai pawedalan (urunan) dan ayah-ayahan (wajib kerja) yang dapat diganti dengan uang dan jumlah keduanya tidak lebih daripada  30% (tiga puluh per seratus) daripada kewajiban krama desa,  serta dapat memberikan dana punia (sumbangan sukarela).   





Krama Tamiu dan Tamiu yang Berdomilisi dan atau Membuka Usaha
      di Desa Pakraman

1.     Krama tamiu dan Tamiu yang berdomisili dan atau membuka usaha di desa pakraman, selain dikenakan kewajiban berupa uang yang jumlahnya tidak lebih daripada 30% (tiga puluh per serataus) dari kewajiban krama desa, juga wajib memberikan kontribusi kepada desa pakraman, sesuai dengan kegiatan usaha yang dilaksanakan, untuk kepentingan kemanusiaan dan kelestarian lingkungan alam, sepanjang tidak berkaitan langsung dengan keyakinan menurut ajaran Hindu.
2.     Jenis dan besarnya kontribusi yang wajib diberikan, dituangkan dalam bentuk kesepakatan tertulis antara tamiu dengan desa pakraman, untuk jangka waktu lima tahun dan sesudahnya dapat ditinjau dan atau disesuaikan dengan situasi dan kondisi objektif kegiatan usaha yang dilaksanakan. 
3.     Selain kontribusi, tamiu bersangkutan juga dapat memberikan dana punia (sumbangan sukarela) kepada desa pakraman.
Hak Krama Tamiu dan Tamiu
Krama tamiu dan tamiu yang berdomisili dan atau membuka usaha di desa pakraman, berhak mendapatkan panyanggran (bantuan) banjar atau desa pakraman, pada waktu yang bersangkutan menghadapi kapancabayan (musibah atau malapetaka).


D. Pengenaan Sanksi Adat Kasepekang  dan Kanorayang

Kenyataan menunjukkan bahwa setiap kali sanksi adat kasepekang dijatuhkan selalu saja menuai kontroversi berkepanjangan. Penerapan sanksi tersebut terbukti tidak menyelesaikan masalah, sebaliknya justru menimbulkan masalah baru, terutama dalam hubungan dengan penguburan jenazah dan atau penggunaan setra.
Atas dasar kenyataan tersebut maka berdasarkan Hasil Pasamuhan Agung II MDP Bali tahun 2007, yang dituangkan dalam Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali Nomor: 01/Kep/Psm-2/MDP Bali/X/2007, Jumat 12 Oktober 2007, sepanjang mengenai sanksi adat kasepekang dan kanorayang, ditentukan bahwa ”Penjatuhan sanksi adat kasepekang dan kanorayang dilarang sementara, sampai adanya rumusan yang memadai mengenai pengertian dan tata cara menjatuhkan sanksi adat tersebut,  yang berlaku bagi semua desa pakraman di Bali.”
Menindaklanjuti Keputusan MUDP (2007) di atas, maka perlu ditegaskan pengertian sanksi adat kasepekang dan sanksi adat kanorayang. Yang dimaksud dengan kasepekang (atau istilah lain) dalam hal ini adalah pemberhentian sementara sebagai anggota banjar dan desa pakraman, sehingga yang terkena sanksi kasepekang tidak berhak mendapatkan panyanggran (pelayanan/bantuan) banjar dan desa pakraman yang ditandai dengan tidak mendapatkan arah-arahan (suaran kulkul). Adapun yang dimaksud dengan kanorayang (atau istilah lain) adalah diberhentikan permanen sebagai krama banjar dan desa pakraman, sehingga segala hak yang sebelumnya didapatkan dari banjar dan desa pakraman menjadi gugur.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali memutuskan hal-hal sebagai berkut.  
1.     Sanksi kasepekang atau istilah lain yang mengandung arti dan makna sama dengan pemberhentian sementara sebagai krama desa, dapat dikenakan berdasarkan paruman (rapat) banjar atau desa pakraman kepada krama desa yang terbukti secara meyakinkan membangkang (ngatuwel) terhadap awig-awig, pararem, dan kesepakatan banjar atau desa pakraman, setelah usaha penyelesaian melalui prajuru (kertha desa) yang dilakukan dianggap gagal, dan setelah beberapa sanksi lain yang juga dikenakan berdasarknan paruman tidak membuahkan hasil. Sanksi lain yang dimaksud, seperti: (a) peringatan lisan dan tertulis oleh prajuru (pimpinan) banjar atau desa pakraman; (b) arta danda (denda materi) berdasarkan awig-awig yang berlaku.
2.     Selama dalam masa kasepekang, yang besangkutan tidak berhak mendapatkan panyanggran (pelayanan/bantuan) seluruh anggota banjar dan desa pakraman yang ditandai dengan tidak mendapatkan suaran kulkul, dalam segala aktivitas yang dilakukan di desa pakraman setempat, baik dalam suasana suka (syukuran), kasucian (upacara agama), kalayusekaran (kematian), maupun kapancabayan (tertimpa musibah).
3.     Sanksi adat kasepekang berlaku untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) paruman banjar atau paruman desa pakraman yang mengagendakan pembahasan perihal pengenaan sanksi kasepekang tersebut.
4.     Apabila dalam masa 3 (tiga) paruman tersebut pihak yang dikenakan sanksi kasepekang tidak memenuhi segala kewajiban yang dibebankan, maka yang bersangkutan dapat diberhentikan (kanorayang) sebagai krama desa, dan tidak berhak menggunakan segala fasilitas milik desa pakraman, kecuali yang bersangkutan kembali menjadi krama desa, setelah memenuhi segala persyaratan sesuai dengan awig-awig yang berlaku.
5.     Melarang pengenaan atau penjatuhan sanksi adat kanorayang atau istilah lain yang memiliki arti dan makna yang sama dengan pemberhentian penuh sebagai krama desa (warga desa), secara langsung sebelum tahapan-tahapan sanksi lain yang bersifat pembinaan diterapkan.
6.     Desa pakraman yang melaksanakan sanksi adat kanorayang secara langsung, dianggap sebagai desa pakraman bermasalah.

Kewajiban Krama Desa yang Kasepekang
Selama dalam masa kasepekang, pihak yang dikenakan sanksi adat kasepekang berkewajiban mengadakan pendekatan kepada krama banjar dan krama desa yang  lainnya melalui  prajuru banjar dan atau prajuru desa pakraman  secara terus menerus guna mengupayakan penyelesaian permasalahan yang dihadapi.

Kewajiban Prajuru Desa Pakraman terkait Sanksi Kasepekang
Prajuru banjar dan atau prajuru desa pakraman wajib membina krama desa yang kasepekang agar bisa kembali melaksanakan swadharma sebagai krama desa; dan selanjutnya prajuru banjar dan atau prajuru desa pakraman tidak berhak merekomendasikan kepada penyelenggara pemerintahan untuk mengurangi hak-hak administratif krama desa yang kasepekang sebagai warga negara.

Hak Krama Desa yang Kasepekang
Selama dalam masa kasepekang, pihak yang dikenakan sanksi kasepekang masih berhak untuk hal-hal sebagai berikut.
1.     Memanfaatkan setra (kuburan) banjar atau desa pakraman untuk melaksanakan upacara penguburan/pembakaran jenazah atau pitra yadnya tanpa panyanggran banjar dan atau desa pakraman. 
2.     Memanfaatkan tempat suci dan fasilitas lain milik banjar atau desa pakraman, seperti halnya krama desa lainnya, dengan sepengetahuan prajuru banjar dan atau desa pakraman.
3.     Memanfaatkan tempat suci untuk tujuan khusus, dilakukan atas seizin prajuru banjar dan atau prajuru desa pakraman dan dituntun oleh pamangku di tempat suci bersangkutan.

Hak Krama Desa yang Kasepekang
Selama dalam masa kasepekang, pihak yang dikenakan sanksi kasepekang masih berhak untuk hal-hal sebagai berikut.
4.     Memanfaatkan setra (kuburan) banjar atau desa pakraman untuk melaksanakan upacara penguburan/pembakaran jenazah atau pitra yadnya.
5.     Memanfaatkan tempat suci dan fasilitas lain milik banjar atau desa pakraman, seperti halnya krama desa lainnya.
6.     Memanfaatkan tempat suci untuk tujuan khusus, dilakukan atas sepengetahuan prajuru banjar dan atau prajuru desa pakraman dan dituntun oleh pamangku di tempat suci bersangkutan.

Sanksi Kasepekang  Berakhir
  Masa kasepekang dianggap selesai sesudah pihak yang dikenakan sanksi memenuhi segala kewajiban yang dibebankan kepadanya dan ngaksamaang raga (meminta maaf) kepada krama banjar dan atau krama desa pakraman melalui prajuru banjar atau prajuru desa pakraman.

Krama Desa yang Kanorayang
Krama desa kanorayang statusnya sama dengan warga yang bukan krama desa, sehingga tidak berhak menggunakan segala fasilitas banjar dan atau desa pakraman tanpa seizin prajuru banjar dan atau prajuru desa pakraman.
Krama desa yang kanorayang dapat kembali menjadi krama desa setelah mengikuti persyaratan untuk menjadi krama desa baru (mawali tedun makrama) sesuai dengan awig-awig desa pakraman bersangkutan.


   

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire